Kamis, 11 Agustus 2011

HADITS MUNQATIK DAN MU’DHAL

A. HADITS MUNQATHI’
1. Pengertian

Menurut bahasa, Munqathi’ adalah isim Fa’il dari masdar Inqatha’a yang berarti terputus.
Menurut istilah, hadits Munqathi’ ada dua pendapat:
1) Pendapat mayoritas Muhadditsin.
“Hadits yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih sebelum sahabat tidak berturut-turut”.
2) Pendapat fuqaha’, Ushuliyun, dan segolongan Muhadditsin.
“segala hadits yang tidak bersambung sanadnya dimana saja terputusnya”

Dengan kata lain Hadits Munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus dimana saja, baik pada permulaan, bagian tengah, atau akhir sanad. Sebagaimana kata an-Nawawi, bahwa kebanyakan Munqathi’ digunakan pada keguguran rawi setelah tabi’in dari sahabat. Hadits Munqathi’ termasuk didalamnya hadits Mursal(seorang perawi yang dibuang pada awal sanad), Mu’dlal(perawi yang dibuang dua orang atau lebih secara berturut-turut), dan Mu’allaq(seorang perawi yang dibuang diakhir sanad).

2. Contoh

Rasulullah saw apabila masuk masjid memanjatkan doa: “Dengan nama Allah, salawat dan salam atas Rasulullah saw, Ya Tuhan ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu Rahmat untukku”.

Hadits yang diTakhrijkan oleh Ibn Majah dengan sanad-sanadnya:Abu Bakar Abi Syaibah, Ismail bin Ibrahim, Al-Laits, Abdullah bin Hasan, Fatimah binti Hussain dan Fatimah az-Zahra. Dihadits ini terdapat Inqitha’(pengguguran) seorang rawi diantara Fatimah az-Zahra dan Fatimah binti Husain, sebab Fatimah binti Husain tidak pernah bertemu dengan Fatimah az-Zahra.

3. Cara mengetahui hadits Munqathi’

Cara mengetahui hadits Munqathi’ adalah dengan melihat tahun kelahiran dan wafatnya perawi dan juga orang yang menyampaikan periwayatan.


4. Hukum Hadits Munqathi’

Menurut kesepakatan para ulama’, hadits Munqhathi’ berkualitas dhaif karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang terbuang.







B. HADITS MU’DHAL
1. Pengertian

Menurut bahasa, Mu’dhal adalah isim maf’ul dari fi’il madhi A’dhalu yang artinya memayahkan.
Menurut istilah, Mu’dhal adalah “Hadits yang digugurkan dari sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut”.

2. Contoh

“Bagi budak mendapatkan makanan dan pakaian, ia tdak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan”

Hadits diatas Mu’dha,l karena digugurkan dua orang perawi secara berturut-turut antara Malik dan Abu Hurairah, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan ayahnya. Hadits Mu’dhal tergolong Mardud(tertolak) karena tidak diketahui kadaan perawi yang digugurkan. Apakah mereka tergolong orang-orang yang diterima periwayatannya atau tidak. Demi keaslian suatu hadits, sanad yang terputus, dan yang digugurkan antara perawinya, maka tidak dapat diterima”.

3. Hukum hadits Mu’dhal

Menurut kesepakatan para ulama hukum hadits Mu’dhal adalah dha’if bahka keadaannya lebih parah dari hadits Mursal dan Munqathi’. Itu sebabnya karena banyaknya perawi yang terbuang dari sanad. Hadits Mu’dhal juga tidak dapat dijadikan hujjah.


DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Fatur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, 1974, PT. Al-Ma’arif

Thahhan, Mahmud, Taysir Musthalahul Hadits, Darr al Fikr, Bairut

Majid Khon, Abdul, Uumul Hadits, 2009, Amzah

HADITS MAQBUL DAN HADITS MUDHTHARIB

A. Hadits Maqbul
1. Pengertian

Menurut bahasa, artinya “yang dipalingkan, yang dibalikkan, yang di tukar, yang diubah, yang terbalik”.
Menurut istilah, ialah “satu hadits yang pada sanadnya atau matannya ada tukaran, perubahan atau palingan dari semestinya”. Yaitu suatu hadits yang mengalami pemutaran dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau satu sanad untuk matan lainnya.

2. Macam-macam hadits maqbul

1. Maqbul pada Sanad
 Satu hadits yang rawi sanadnya ditukar dengan rawi lain.
Contoh:
(diriwayatkan) dari ‘Amr bin khalid al Harrani, dari Hammad an-Nashibi, dari A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah, Nabi bersabda: “Apabila kamu bertemu dengan orang–orangmusyrik disuatu jalan, maka jangan kamu memulai memberi salam kepada mereka....”

Dari hadits diatas , A’masy yang ada dalam sanad itu mestinya Suhail, tetapi oleh hammad, Suhail ini ditukar dengan A’masy, karena hendak mengadakan perbuatan ganjil, supaya ia terkenal.
Menurut sanad muslim yang sudah sah ialah:
Muslim  Qutaibah  Abdul ‘Aziz  Suhail  Abi Hurairah  Rasulullah saw.

 Satu hadits yang nama rawi sanadnya terbalik dari semestinya.
Contoh:
Dari jalan Hajaj, dari Ibni Juraij telah menkhabarkan kepadaku, Abu Bakar bin Abi Mulaikah, bahwa Abdurrahman bin Utsman at-Taimi mengkhabarkan kepadanya dari Rabi’ah bin Abdillah, bahwasannya ia pernah hadir di majlis, Umar...(Isma’ily)

Dari hadits diatas terdapat pada sanad terbalik namanya, Abdurrahman bin Utsman, yang semestinya , Utsman bin Abdurrahman. Seperti inilah menurut riwayat Bukhari dan Abdirrazaq.

Dan sambungan hadits tersebut ialah: “... Umar pernah membaca surat an-Nahl diatas mimbar pada hari jum’at. Waktu sampai diayat sajadah ia turun sujud dan orang-orang pun sujud. Pada hari jum’at berikutnya ia membaca surat itu juga, waktu sampai di ayat sajadah ia berkata: ”Hai manusia. Sesungguhnya kita dapati ayat sajadah. Barang siapa mau sujud, maka ia benar. Tetapi barang siapa tidak mau sujud, tidaklah ada dosa atasnya” sedangkan umar tidak sujud.

2. Maqbul pada matan
 Satu hadits yang matannya terbalik dari kebiasaanya.
Contoh:
Dari Abi Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw: “Apabila salah seorang kamu diantara kamu sujud, maka janganlah bersujud seperti onta, tetapi hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (Abi Daud)

Perkataan “kedua tangannya sebelum kedua lututnya” itu terbalik. Mestinya: “kedua lututnya sebelum kedua tangannya”. Dikatakan terbalik karena biasanya onta apabila hendak meletakkan badanya dibumi, ia mendahulikan kedua kakinya yang didepan lalu baru yang belakang.

3. Hukum hadits Maqbul

Hukum hadits Maqbul ialah dhaif karena teranggap lemah pada ghalibnya. Keterbalikan yang terjadi karena lupa, menjadikan dhaif.


B. Hadits Mudhtharib
1. Pengertian

Menurut bahasa, artinya “yang goncang” atau “yang goyang”.
Menurut istilah ialah “suatu hadits yang matannya atau sanadnya diperselisihkan serta tidak dapat dicocokkan atau diputuskan mana yang kuat”.

2. Macam-macam hadits mudhtharib:

 Mudhtharib pada matan
 Mudhtharib pada sanad
 Mudhtharip pada matan dan sanad

Contoh, mudhtharib pada matan dan sanad:
Berkata imam syafi’i: telah mengkhabarkan kepada kami, orang orang kepercayaan dari Walid bin Katsir, dari muhammad bin ‘Abad bin Ja’far, dari ‘Abdillah bin ‘Umar, dari Bapaknya, bahwa Rasuullah saw. Telah bersabda: “Apabila ada air dua kulah, maka ia tidak mengandung najis atau kotor”. (Musnad Syafi’i)

 Penjelasan mudhtharib pada Sanad
Susunan Sanadnya:
• Syafi’i  Orang kepercayaan  al-Walid bin Katsir  Muhammad bin ‘Abad bin Ja’far  Bapaknya: ‘Abdullah bin ‘Umar  Rasulullah saw.

Rawi yang menjadi pokok pembicaan bagi Sanad, ialah al-Walid bin Katsir.
• Al-Walid bin katsir  Muhammad bin ‘Abad bin Ja’far
• Al-Walid bin katsir  Muhammad bin Ja’far
• Al-Walid bin katsir  ‘Ubaidillah bin ‘Umar
• Al-Walid bin katsir  ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Umar
• Al-Walid bin katsir  ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar

Antara lima macam sanad ini, tidak dapat ditentukan mana yang terkuat untuk diterima. Kerena tidak dapat diputuskan, maka sanadnya disebut Mudhtharib pada Sanad.

 Penjelasan Mudhtharib pada Matan
Matan haditsnya bermacam-macam:
• “jika ada air itu sekedar dua kulah atau tiga, maka tidaklah ada sesuatu yang dapat menajiskannya”.
• “apabila air itu ada satu kulah, maka sesungguhnya air itu tidak mengandung kotor”.
• “bila mana air itu sampai empat puluh kulah, maka sesungguhnya air itu tidak mengandung najis”.

Karena macam-macam ini dna tidak dapat dicocokkan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat diputuskan mana yang lebih kuat maka ada ulama yang menganggap matannya itu goncang. Hadits yang diriwayatkan dangan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih.

3. Hukum hadits Mudhtharib
Hukum hadits Mudhtharin ialah dhaif, karena menunjukkan ketidak dhabitan. Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan, yaitu apabila terjadi ikhtilaf mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, atau pun nama nisbatnya itu berkualitas tsiqah. Sehingga hadits tetap dihukumi shahih ataupun hasan, sesuai dengan pemenuhannya terhadap syarat-syarat mamsing-masing.



DAFTAR PUSTAKA

‘Ajaj al-Khatib, Muhammad, Ushul Hadits, Jakarta: Gaya media Pratama, 2007
Hasan, A. Qadir, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002

Senin, 08 Agustus 2011

HADITS MU’AN’AN

HADITS MU’AN’AN

A. Pengertian
1. Hadits Mu’an’an

Menurut bahasa Mu’an’an merupakan isim maf’ul dari kata ‘an’ana yang berarti dari, dari.
Menurut istilah mu’an’an ialah perkataan si rawi, fulan dari si fulan.
Ahli hadits mengatakan pengertian menurut istilah, yakni:
“Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan ‘an fulanin dari si fulan, dengan tidak disebut perkataan ia menceritakan atau mengabarkan atau ia mendengar.”

Contoh:
“malik menceritakan dari ibn Syihab, bahwa Sa’ab ibn al-Musayyab mengatakan begini.”

2. Hadits muannan

Menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata “annana”, yang berarti sesungguhnya, sesungguhnya.
Menurut istilah merupakan pernyataan si rawi. Seperti, telah menceritakan kepadaku si fulan sesungguhnya fulan telah berkata...

Contoh:
“fulan menceritakan kepada kami, sesungguhnya fulan berkata: Sesungguhnya Rasululllah saw bersabda...”

B. Hukum Hadits Mu’an’an dan Mu’annan

Untuk mengetahui hukum hadits mu’an’an para ulama’ telah berbeda pendapat, yang bermuara pada dua pernyataan:
a. Termasuk hadits munqathi’ (terputus) sampai jelas-jelas tersambung.
b. Yang benar dan pendapatnya biasa diamalkan adalah pendapat jumhur dari pakar hadits, fiqih dan ahli ushul, bahwa hadits mu’an’an itu muttashil (bersambung), asalkan memenuhi beberapa syarat. Mereka sepakat dengan dua buah syarat, akan tetapi berbeda pendapat terhadap syarat-syarat lainnya.
Dua buah persyaratan yang mereka sepakati, menurut imam muslim yang harus ada adalah:
1) Hadits mu’an’an itu bukan termasuk hadits mudallas.
2) Memungkinkan mereka untuk saling bertemu, yaitu bertemunya si Mu’an’in dengan orang yang menjadi ‘an’annya.

Sedangkan syarat-syarat yang diperselisihkan, yang menjadi syarat-syarat tambahan bagi dua syarat yang sebelumnya adalah:
a. Kepastian bertemunya. Ini merupakan pendapat Bukhari, Ibn Madani dan para Muhaqqiq.
b. Lamanya persahabatan. Ini adalah pendapatnya Abu Mudaffar as- Sam’ani.
c. Mengetahui terhadap apa yang diriwayatkan. Ini adalah pendapatnya Abu Amru Ad-Dani.



Sedangkan hukum Hadits Mu’an’an ialah:
1) Imam Ahmad dan jama’ah(sekumpulan ahli hadits) menggolongkannya sebagai munqathi’, sampai jelas kesinambungannya.
2) Jumhur ahli hadits. Anna itu sama dengan ‘an, yang mengandung pengertian as-Sima’, meskipun harus memenuhi syarat-syarat terdahulu.

C. Perbedaan Mun’an’an dengan Mu’annan

Sebagian ulama’ membedakan antara ‘an dengan ‘anna. Mereka berpendapat bahwa ‘anna dipahami sebagai keterputusan sampai terlihat jelas adanya sima’ dalam khabar itu melalui jalur lain atau ada indikasi menyaksikan atau mendengar. Sedang menurut mayoritas ulama’, anna seperti ‘an dalam hal kemuttashilan, tentu dengan syarat-syarat yang telah disebutkan.


DAFTAR PUSTAKA


‘Ajaj al-Khatib, Muhammad. Ushul Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama 2007

Hasan al-Mas’udi, Hafidz. Ilmu Musthalahul Hadits. Surabaya: al-Hidayah

Hasan, Qadir. Ilmu Musthalahul Hadits. Bandung: Diponegoro 1991

Imam al-Nawawi. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus 2009

Jumat, 05 Agustus 2011

HADITS MUDALLAS

HADITS MUDALLAS
I. Definisi Hadits Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologi berasal dari akar kata “ad-Dallas” yang berarti “adz-Dzulmah” (kedzaliman). Adapun menurut terminologi, yaitu:
“Apabila seorang periwayat meriwayat kan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar darinya, (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti ‘dari’ atau ‘ia bekata’.”

II. Macam-macam Hadits Mudallas
Tadlis terbagi menjadi dua bagian:
1. Tadlis al-Isnad(tadlis pada sistem sanad)
Seorang meriwayatkan sebuah hadits yang tidak pernah diterimanya dari rawi yang hidup semasa dengannya. ia mengatakan, “Fulan mengatakan” atau “Fulan mengatakan” atau yang sejenisny. Bahkan kadang-kadang ia tidak menggugurkan gurunya atau orang lain, padahal orang-orang itu adalah rawi dhaif. Itu ia lakukan demi untuk menaikkan posisi haditsnya ke posisi yang lebih baik.
2. Tadlisas-Syuyukh (pentadlisan pada guru hadits)
Seorang rawi menyebutkan , memberi julukan (kunyah), menisbatkan, atau mendeskripsikan seorang guru dengan sebutan, julukan, nisbat atau deskripsi yang tidak diketahui. Misalnya pernyataan Abu Bakar Ibn Abi Mujahid Al-Muqri’ bahwa telah meriwayatkan kepada kami Abdullah Ibn Abi Abdillah. Yang dimaksud adalah Abdullah Ibn Abi Daud as Sijistani, pemilik as-Sunah. Abu Daud terkenal dengan kunyah seperti itu, bukan dengan Abu Abdillah.

III. Contoh-contoh hadits mudallas
Hadits yang dikeluarkan oleh imam ahmad (4/289,303), Abu Daud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan ibnu majah(3703) dengan jalan:
“Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ Bin ‘Azib, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidakkah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua mereka berpisah”.

Abu Ashaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia tsiqah dan banyak meriwayatkan hadits, hanya saja dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah telah mendengarkan hadits dari al-Barra’bin ‘Azib , jelas telah ditetapkan didalam beberapa hadits. Hanya pada hadits ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar langsng, yaitu dengan ‘an ‘anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadits ini tidak ia dengarkan langsung dari Abu Daud al-A’ma (namanya adalah Nafi bin al Haris), sedangkan ia matruk (tertolak haditsnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu Abi Dun ya mengeluarkan hadits didalam kitab al-ikhwan (h. 172) dari jalan Abu Bakar bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata: aku menemui al-Bara’ bin’Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata: Aku mendengarkan Rasulullah saw bersabda... ia menyabutkan hadits diatas.
Diantara riwayat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Daud al-A’ma adalah: Imam Amad mengeluarkan hadits tersebut dalam musnadnya (4/289) dengan jalan, Mallik bin Maghul, dari Abu Daud ... Dan seterunya. Dengan demikian, hadits Abu Ishaq dari al-Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi didalam kitab al-Jami’, dengan jalan:
“Dari Muhamad bin ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dari mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata: Aku mendengar rasulullah saw bersabda,” Tunggulah sampai langit menguning untuk shalat fajar, karena hal itu sebesar-besar pahala.”

Muhammad bin Ishaq bin Yasar orangnya jujur, hanya saja ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan riwayat. Dia telah mentadliska sanad ini, karena ia menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits tersebut dengan sanad (3/465):
“Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata: Telah menkhabarkan kepada kami Muhammad Bin Ishaq, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ibn ‘Ajal... lalu ia menyabutkan hadits dengan matan seperti diatas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan hadits ini dari Ibn ‘Ajal.


IV. Hukum Hadits Mudallas

A. Hukum tadlis al-isnad
Mengenai hukum tadlis al-isnad ada tiga pendapat dikalangan ulama. Yang dapat kita kaitkan dengan status hukum hadits mudallas itu sendiri:
1. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia menjadi majruh dan tertolak riwayatnnya secara mutlak. Meskkipun ia menjelaskan adanya sima’ dan meskipun tadlis yang dilakukan diketahui hanya sekali saja.
2. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis sama dengan Irsal. Alasan inilah yang diikuti oleh sebagian besar mereka yang menerima hadits mudallas, termasuk didalamnya kaum Zaidiyyah.
3. Sebagian yang lain mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung tadlis. Sedang hadits-hadits yang lain yang tidak mengandung tadlis bisa diterima.

B. Hukum tadlis as-Syuyukh

Hukum melakukan tadlis as-Syuyukh adalah makruh menurut ulama hadits, karena mengandung kerumitan bagi pendengar untuk mengecek sanadnya atau mengecek guru-gurunya. Ini jelas mengandung penyia-nyiaan atas orang yang diambil riwayatnya, disamping atas diri yang diriwatkan. Sebab ketika ia menyebutkan gurunya dengan sebutan yang tidak biasa dikenal, maka mengakibatkan statusnya majhul.
Kemakruhan itu berbeda-beda, tergantung faktor yang mendorong seseorang melakukannya. Yang paling buruk adalah dikarenakan faktor kedhaifan syekhnya. Ia melakukan tadlis sehingga riwayatnya tidak tampak berasal dari perawi-perawi dha’if. Ini jelas tidak diperbolehkan secara mutlak, karena mengandung penipuan dan pengelabuan.









Daftar Pustaka

An-Nawawi, Abu Zakaria Yahya bin Syafa, Dasar-dasar Ilmu Hadits, Penerjemah: Syarif Hade Masya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Al-khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits, Penerjemah: M. Nur Ahmad Musyafiq (Jakata: Gaya media pratama, 2007):Maktabah Ibn Taimiyah, 1997
Salim, Amru Abdul Mun’im, Tafsir Ulumul Hadits, Penerjemah: Abah Zacky (Mesir: Maktabah Ibn Taimiyah, 1997)